
Biografi R.A.
Kartini atau Raden Ayu Kartini adalah salah satu sosok wanita yang
menjadi pelopor untuk kebangkitan wanita pribumi, salah satu dari pahlawan
Indonesia yang wajib untuk dijadikan inspirasi hidup bagi warga Indonesia
khususnya bagi para kaum wanita. Perjuangan beliau untuk memperjuangkan
emansipasi wanita di Indonesia patut diancungi jempol.
Raden Ayu
Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Kota Jepara. R.A adalah sebuah
gelar yang diberikan kepada keluarga bangsawan karena beliau merupakan anak
dari kalangan keluarga bangsawan, maka ia berhak mendapatkan gelar R.A atau
bisa disebut dengan Raden Ajeng.
Ayahnya bernama Raden
Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang putra dari Pangeran Ario
Tjondronegoro IV, yang semasa hidupnya pernah menjabat sebagai Bupati
Jepara yang diangkat saat berusia 25 tahun dan dikenal sebagai salah satu
bupati pertama yang memberikan pendidikan barat kepada anak-anaknya.
R.M. Adipati
Ario Sosroningrat juga pernah menjabat sebagai bupati Jepara setelah Kartini
dilahirkan. Dari ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana
VI. Tidak hanya itu, ayahnya dikatakan masih memiliki garis keturunan dari
Kerajaan Majapahit hal ini diperkuat dengan pernyataan 'Pada abad ke-18
Pangeran Dangirin menjadi bupati di Surabaya sehingga nenek moyang R.M. Adipati
Ario Sosroningrat mengisi banyak posisi penting di Pangreh Praja (informasi ini
perlu diteliti lebih lanjut).
Berbeda dengan
ayahnya, ibu dari Kartini bukan keturunan dari bangsawan melainkan hanya rakyat
biasa. Nama beliau adalah M.A. Ngasirah merupakan anak dari Kyai
Haji Madirono dengan Nyai Haji Siti Aminah, seorang guru
agama di Telukawur, Jepara.
Raden Ayu Kartini
merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari semua saudara
kandungnya, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakaknya yang bernama Sosrokartono,
seorang yang pintar dalam bidang sastra atau bahasa.
Pada pernikahan
pertama, R.M. Adipati Ario Sosroningrat menjabat sebagai Wedana di Mayong.
Peraturan kolonial pada saat itu mengharuskan seorang bupati beristerikan
seorang bangsawan, maka M.A. Ngasirah yang bukan dari keturunan bangsawan harus
rela karena R.M. Adipati Ario Sosroningrat yang merupakan seorang bangsawan
menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan
langsung dari seorang Raja Madura yang bernama R.A.A. Tjitrowikromo.
Setelah pernikahan tersebut ayah Kartini diangkat menjadi Bupati di Jepara.
M.A. Ngasirah menjadi istri pertama dan R.A. Woerjan menjadi istri utama.
R.A Kartini
bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sekolah ini ia
belajar Bahasa Belanda, namun hanya sampai usia 12 tahun karena budaya pada
masa itu, anak perempuan harus tinggal dirumah untuk 'dipingit' dapat diartikan
sebagai dikurung/berkurung di dalam rumah.
Belajar dapat
dimana saja dan kapanpun selagi kita memiliki kemauan dan kesempatan, itulah
yang dilakukan Kartini. Ia bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai
belajar dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari
Belanda salah satunya bernama Rosa Abendanon.
Munculnya
Pemikiran Mengenai Emansipasi Wanita
Kebiasaan
Kartini yang menulis surat kepada teman-teman korespondensi dan juga ditambah
dengan sering membaca buku, koran, maupun majalah Eropa, Kartini menjadi
tertarik pada kemajuan pola berpikir perempuan Eropa. Akhirnya timbul keinginan
untuk memajukan wanita pribumi karena pada masa itu dengan budaya yang bersifat
menekan perempuan, ia melihat bahwa wanita pribumi berada pada status sosial
yang rendah.
Kartini juga banyak
membaca surat kabar Semarang De Locomotief, ia juga menerima Leestrommel (paket
majalah langganan). Ia beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De
Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak bahwa Kartini membaca apa
saja dengan penuh perhatian.
Perhatiannya
tidak hanya fokus pada emansipasi wanita, namun juga dalam masalah sosial umum.
Ia menginginkan agar wanita memperoleh persamaan hukum dan kebebasan sebagai
bagian dari gerakan yang lebih luas. Ia suka membaca buku, beberapa buku yang
ia baca, yaitu Max Havelaar, Surat-Surat Cinta karya
Multatuli, dan De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis
Coperus.
Pada surat-surat
Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu,
terutama tentang kondisi wanita pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi
keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai
penghambat kemajuan bagi kaum wanita.
Raden Ayu
Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling, Zelf-onderricht, Zelf-
vertrouwen, Zelf-werkzaamheid, dan Solidariteit.
Semua itu atas dasar Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan, ditambah dengan
peri kemanusiaandan Nasionalisme (cinta tanah air).
R.A Kartini
memiliki keinginan untuk dapat melihat wanita pribumi mendapatkan persamaan hak
dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti persamaan hak wanita dengan
laki-laki, kebebasan dalam menuntut ilmu, maupun dalam mengekang kebebasan
wanita.
Surat-surat
Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika
bercita-cita menjadi wanita Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah
yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski
hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup.
Raden Ayu
Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap
sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan
cita-citanya. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini.
Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di
Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke
Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.
Keinginan
Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam
surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan
keinginannya tersebut. Akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir
terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya.
Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi
setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang
terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada tahun 1903
saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di
Betawi mungkin hanya akan menjadi mimpi yang tidak dapat diwudujkan. Dalam
sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi
karena ia sudah akan menikah. Padahal saat itu pihak departemen pengajaran
Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar
di Betawi.
R.A Kartini
menikah dengan K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat pada
tanggal 12 November 1903, yang merupakan seorang bangsawan dan juga menjabat
sebagai Bupati di Rembang yang telah mempunyai tiga orang istri. Suaminya
mengerti apa yang diinginkan oleh Kartini, akhirnya Kartini diberi kebebasan
dan didukung untuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang
kompleks kantor kabupaten Rembang dan sekarang bangunan tersebut digunakan
sebagai Gedung Pramuka.
Meninggal
Dunia
Pernikahannya
dengan K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo memiliki satu orang anak yang bernama Soesalit
Djojoahiningrat, lahir pada tanggal 13 September 1904. Berselang beberapa
hari setelah melahirkan tepatnya pada tanggal 17 September 1904, Kartini
meninggal dunia dan dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihan
yang dilakukan oleh Kartini, kemudian banyak sekolah wanita yang berdiri
seperti di kota di Indonesia seperti Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun,
Cirebon, daerah lainnya, maupun sekolah wanita yang didirikan oleh Yayasan
Kartini di Semarang pada 1912. Nama sekolah tersebut adalah Sekolah Kartini
yang didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik
Etis.
Penjelasan
Politik Etis adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah
kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi.
Pengumpulan
Surat yang Pernah Ditulis oleh Kartini
Setelah kematian
Kartini, seseorang yang bernama J.H. Abendanon mengumpulkan
dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan oleh Kartini kepada
teman-teman korespondensi yang berada di Eropa. J.H. Abendanon yang pada saat
itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda.
Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang memiliki
arti "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini
diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan
terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Pada tahun 1922,
Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul Habis
Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran. Pada tahun 1938 keluar buku yang
berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn
Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Surat-surat Kartini dalam bahasa
Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain
itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa
dan Sunda.
Surat-surat
Kartini juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Pada mulanya
Sulastin menerjemahkan Door Duisternis Tot Licht di Universitas Leiden,
Belanda, saat ia melanjutkan studi di bidang sastra tahun 1972. Pada 1979,
sebuah buku berisi terjemahan Sulastin Sutrisno versi lengkap Door Duisternis
Tot Licht pun terbit. Buku kumpulan surat versi Sulastin Sutrisno terbit dengan
judul Surat-Surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk
Bangsanya.
Buku yang terbit
melalui pengumpulan surat kartini :
- Habis Gelap Terbitlah Terang
- Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk
Bangsanya
- Letters from Kartini, An Indonesian Feminist
- Panggil Aku Kartini Saja
- Kartini Surat-Surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan
suaminya
- Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat
Kartini kepada Stella Zeehandelaar
Surat-surat yang
ditulis oleh Kartini menarik perhatian masyarakat Belanda dan pemikiran yang
dituangkan dalam surat tersebut mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap
wanita pribumi. Tidak hanya itu surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi
tokoh-tokoh kebangkitan nasional, antara lain W.R. Soepratman yang
berhasil menciptakan sebuah lagi yang berjudul Ibu Kita Kartini.
Lagu ibu kita Kartini menggambarkan inti perjuangan wanita untuk merdeka. Kini
kemerdekaan kaum wanita diwujudkan dalam konsep emansipasi wanita.
DAFTAR PUSTAKA BIOGRAFI SINGKAT :
Sumber Artikel :
http://www.biografipedia.com/2016/04/biografi-ra-kartini-wanita-indonesia.html
Sumber Gambar :
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/23/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Portret_van_Raden_Ajeng_Kartini_TMnr_10018776.jpg
0 komentar:
Posting Komentar